Oleh: Adam Deyant Biharu, Mahasiswa Fakultas Hukum UNJA
JAMBIONE.COM- Konflik Rempang di Kepulauan Riau pada 7 September 2023 adalah salah satu konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Konflik agraria sendiri merupakan konflik yang hingga kini sulit diselesaikan di Indonesia.
Hingga saat ini sudah banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Seperti konflik di Wadas dan Wamena. Konflik ini merupakan konflik yang cukup banyak menyita perhatian sebelum konflik agraria di Rempang terjadi.
Hal ini menunjukkan bahwa konflik agraria merupakan permasalahan yang harus menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia. Jika permasalahan agraria terus berlanjut maka akan menggangu keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara meluas.
Baca Juga: Kasus Pulau Rempang dari Segi Posktivisme Hukum
Kembali ke konflik Rempang, bermula pada saat masyarakat mengetahui bahwa tanah atau pulau yang mereka tinggali saat ini akan dibangun Megaproyek Rempang Eco City. Pemerintah Batam sejak awal Agustus 2023 sudah mulai memasang patok-patok disekitar tanah tersebut. Namun upaya tersebut selalu digagalkan oleh masyarakat setempat yang menolak pemasangan patok tersebut.
Pembangunan megaproyek di pulau tersebut sangat berdampak terhadap kehidupan masyarakat Rempang dan sekitarnya. Karena masyarakat sekitar yang telah mendiami daerah itu secara turun temurun akan direlokasi (dipindahkan) ke tempat lain yang disediakan oleh pemerintah.
Hal ini menjadi pemicu konflik di Rempang karena masyarakat sekitar tidak setuju untuk direlokasi, karena disitulah tempat kehidupan dan pencaharian nafkah mereka selama ini.
Baca Juga: Pulau Rempang: Refleksi Filsafat Tentang Konflik dan Keharmonisan
Kalau melihat sejarah, masyarakat Rempang sudah mendiami daerah tersebut jauh bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sehingga tanah tersebut dapat dikatakan sebagai tanah adat dan warga sekitar disebut sebagai masyarakat adat, yaitu masyarakat adat Melayu Rempang.
Di sisi lain, tidak adanya Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah yang masyarakat Rempang tinggali menjadi problematika serius. Karena status kepemilikan atas tanah di Indonesia hanya dilihat dari keberadaan SHM atas tanah tersebut.
Hal ini di satu sisi menjadi persoalan serius di Indonesia, karena masyarakat adat sendiri tidak mengenal SHM. Masyarakat adat mendiami wilayah tertentu berdasarkan adat yang turun temurun dari leluhur terdahulu.
Baca Juga: Konflik Agraria di Pulau Rempang Batam
Jika persoalan ini dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka sebenarnya masyarakat adat tersebut memiliki hak atas tanah tersebut. Karena jauh sebelum Indonesia merdeka, artinya jauh sebelum bangsa ini mengenal istilah SHM, masyarakat adat tersebut sudah lebih dahulu tinggal di daerah tersebut.
Artikel Terkait
Hai Warga Tebo Sudah Tau Belum, Kabupaten Tebo Punya 4 Perda Baru Yuk Disimak..!!
Fakta Pulau Rempang yang Dikuasai Penuh Oleh Pengusaha dan Menggusur Warga
Anak Muda Jambi Kini Punya Keterampilan Lebih Berkat Kelas Desain Grafis Ganjar Milenial
Konflik Agraria di Pulau Rempang Batam
Kontingen Jambi Bersiap Raih Prestasi di PORWIL XI Sumatera 2023: 8 Cabang Olahraga Siap Berlaga
Pulau Rempang: Refleksi Filsafat Tentang Konflik dan Keharmonisan
Kasus Pulau Rempang dari Segi Posktivisme Hukum
Demokrat Bersikap Fleksibel Terkait Cawapres Koalisi Pilpres 2024
Hasto: Kita Siapkan Kejutan dengan Undang Cawapres Pendamping Ganjar pada Rakernas