Oleh: Widia Rahayu, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi
JAMBIONE.COM-Proyek Rempang Eco City adalah proyek pengembangan kawasan ekonomi yang terletak di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Kasus Rempang Eco City bermula dari sengketa lahan antara warga Kampung Adat dan pihak yang mendukung proyek Rempang Eco City. Konflik ini kemudian berkembang menjadi bentrokan antara warga dan aparat keamanan, serta menimbulkan perhatian masyarakat dan media massa di Indonesia.
Pulau Rempang, yang terletak di Kepulauan Riau, telah menjadi sorotan utama dalam beberapa tahun terakhir. Tepatnya pada tahun 2020, terjadi kerusuhan yang melibatkan warga setempat dan pengembang proyek Rempang Eco City. Kejadian ini memunculkan kritik terhadap paradigma positivisme hukum dalam penegakan hukum di Indonesia.
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang kerusuhan di Pulau Rempang dan mengkritisi paradigma positivisme hukum yang menjadi dasar hukum di Indonesia.
Baca Juga: Kompleksitas Kebijakan dan Konflik di Balik Pengembangan Kawasan
Sejak awal tahun 2010 , Rempang Eco City menjadi proyek pengembangan yang diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat. Namun, pembangunan proyek ini tidak berjalan mulus.
Tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan kurangnya transparansi dalam perencanaan proyek menjadi pemicu ketegangan antara warga dan pengembang.
Pada tahun 2020, kerusuhan pecah di Pulau Rempang. Warga setempat merasa tidak puas dengan penanganan proyek Rempang Eco City oleh pengembang dan pemerintah. Mereka merasa bahwa hak-hak mereka sebagai pemilik tanah tidak dihargai dan bahwa proyek ini tidak memberikan manfaat yang dijanjikan.
Baca Juga: Kasus Rempang Dalam Kepastian Hukum
Kerusuhan di Pulau Rempang menunjukkan kelemahan dalam paradigma positivisme hukum yang menjadi dasar penegakan hukum di Indonesia. Paradigma ini menekankan pada kepatuhan terhadap hukum yang ditetapkan secara formal, tanpa memperhatikan konteks sosial dan keadilan.
Pertama, paradigma positivisme hukum tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kasus Rempang Eco City, warga setempat merasa tidak terlibat dalam proses perencanaan proyek dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Akibatnya, ketidakpuasan dan protes masyarakat semakin meningkat.
Kedua, paradigma ini tidak memperhatikan aspek kemanusiaan dan keadilan dalam penegakan hukum. Dalam kerusuhan di Pulau Rempang, warga merasa bahwa hak-hak mereka sebagai pemilik tanah tidak dihormati dan bahwa proyek ini hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Baca Juga: Kasus Rempang, Kepastian Hukum Terhadap Hak Milik Diatas Hak Pengelolaan di Kota Batam
Paradigma positivisme hukum yang hanya fokus pada kepatuhan terhadap hukum yang ada tanpa memperhatikan konteks sosial dapat mengabaikan aspek keadilan dalam penegakan hukum.
Artikel Terkait
Kebakaran Terus Meluas, Satgas Fokus Padamkan Api
Kasus Rempang Dalam Kepastian Hukum
Maulana : Angka Stunting Turun dengan Program Bapak Asuh dan Intervensi Gizi
Satgas Karhutla Kabupaten Tebo Kewalahan, Ternyata Ini Penyebabnya..!!
Kompleksitas Kebijakan dan Konflik di Balik Pengembangan Kawasan
Konsesinya Terbakar PT ABT: Api Masih Ada, Di Kebun Sawit Warga Dalam Konsesi
128 Rumah di Kota Jambi Dapat Bantuan Bedah Rumah Senilai Rp20 Juta per Rumah