Oleh : Yani, Mahasiswa S1 prodi ilmu hukum universitas Jambi
JAMBIONE.COM- Kepulauan Batam merupakan lokasi yang strategis. Keppres Nomor 41 Tahun 1973 merupakan keputusan untuk mencegah lokasi tanah yang potensial untuk investasi sampai dimiliki investor swasta. Artinya, mencegah spekulan tanah.
Pemberian HPL kepada Otorita Batam, artinya investor yang membutuhkan tanah tidak diperkenankan memiliki tanah, tetapi cukup dengan menyewa tanah ke Otorita Batam. Penyelesaian konflik penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam, pengakuan dan kesaksian warga serta lembaga adat.
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam. Ketentuan Pasal 6 Ayat 2 Huruf a keppres tersebut menyatakan, seluruh areal yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan status hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam.
Baca Juga: Kasus Rempang, Kepastian Hukum Terhadap Hak Milik Diatas Hak Pengelolaan di Kota Batam
Akibat hukum dari keppres tersebut, hak-hak perseorangan di areal yang ditetapkan menjadi terbatas. Areal yang ditetapkan oleh keppres tersebut harus jelas letak batas-batasnya dan terbebas dari penguasaan, pemanfaatan, atau pemilikan tanah masyarakat. Dan sesuai dengan isi keppres tersebut, keppres ini harus ditindaklanjuti dengan kegiatan pendaftaran tanahnya.
Apabila terdapat hak kepunyaan atau pemilikan tanah adat di areal tersebut, sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tanah adat yang sudah dikuasai secara individu akan dikonversi menjadi ”hak atas tanah hak milik”. Sementara hak milik tidak mungkin ada pada areal hak pengelolaan.
Oleh karena itu, hak pengelolaan yang ditetapkan oleh Keppres Nomor 41 Tahun 1973 harus terlebih dahulu terbebas dari hak milik masyarakat, sebelum didaftarkan ke Kantor Pertanahan.
Baca Juga: Analisis Filsafat Hukum Kasus Rempang Eco City dalam Perspektif Bisnis dan HAM
Pulau Rempang, tempat yang dalam beberapa hari ini terjadi demonstrasi dan bentrok antara masyarakat setempat dan aparat secara administratif merupakan bagian dari Kota Batam. Terbagi atas areal tanah bekas hak guna usaha (HGU), kawasan hutan, dan Kampung Tua.
Pulau Rempang termasuk yang direncanakan menjadi hak pengelolaan Otorita Batam, yang dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Terdapat 45 titik Kampung Tua di Pulau Rempang. Membaca catatan sejarah Traktat London 1824, keberadaan Kampung Tua di Batam dan sekitarnya sudah berlangsung lebih dari 188 tahun lalu, seiring dengan kejayaan Kerajaan Lingga, Kerajaan Riau, Kerajaan Johor, dan Kerajaan Pahang Malaya.
Traktat London 1824 telah memisahkan Kerajaan Lingga dan Kerajaan Riau masuk sebagai jajahan Belanda, sementara Johor dan Pahang Malaya masuk jajahan Inggris.Bentrok antara penduduk Pulau Rempang dan aparat keamanan berakhir ricuh. Hal ini buntut dari masalah soal pengembangan kawasan ekonomi baru proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang dan Galang, Batam.
Baca Juga: Kasus Rempang Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Pulau Rempang rencananya dijadikan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi. Pembangunan itu ditolak oleh sejumlah warga dan berujung bentrok warga dengan aparat keamanan.
Artikel Terkait
Harga Batu Bara Melonjak hingga Rekor Tertinggi dalam 3 Bulan Terakhir: Permintaan Global dan Kebijakan Energi
Reputasi Singapura sebagai Pusat Keuangan Bersih Teruji Akibat Skandal Pencucian Uang $1.3 Miliar
Verstappen dan Red Bull Kecewa dengan Strategi di Grand Prix Singapura
Penjahat Siber Menguasai Peluncuran iPhone 15: Ancaman Tersembunyi di Balik Inovasi Gadget Terbaru Apple
Joni Ismed : Pendapatan Pajak LPJU Tinggi, Namun Penerangan di Perkampungan Masih Terbatas
19 Hari Operasi Zebra 2023 Terjadi 11.130 Pelanggaran, Ini Rincian dan Jumlah Pelanggar yang Ditindak
Kebakaran Terus Meluas, Satgas Fokus Padamkan Api