Oleh : Yolandari, Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Hukum Universitas Jambi
JAMBIONE.COM- Konflik yang terjadi di Pulau Rempang bermula ketika Badan Pengusaha (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Rempang. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang.
Menurut Badan Pengusahaan (BP) Batam, kawasan Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco City. PSN 2023 tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Kawasan ini diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080. Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang yang luasnya sekira 17.000 hektar akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata. Tujuannya mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.
Baca Juga: Kasus Rempang Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Tujuh zona yang nanti akan dikembangkan antara lain zona industri, zona agro-wisata, zona pemukiman dan komersial, zona pariwisata, zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, zona margasatwa dan alam serta zona cagar budaya. Bahkan Pemerintah Republik Indonesia menargetkan pengembangan Kawasan Rempang Eco City dapat menyerap hingga 306.000 tenaga kerja hingga tahun 2080 mendatang.
Dalam keterangan tertulis, BP Batam mengatakan pengembangan Pulau Rempang diawali dengan investasi produsen kaca terkemuka dari China sejak akhir Juli. Perusahaan yang berkomitmen berinvestasi sekira Rp175 triliun akan membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem rantai pasok industri kaca dan kaca dan kaca panel surya.
Masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Eco City. Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mereka dengan tegas menolak wilayah tersebut direlokasi.
Baca Juga: Kasus Rempang Tanah Batam: Analisis Filsafat Hukum Terkait Konflik Hak Kepemilikan dan Keadilan
Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad dalam beberapa kesempatan menegaskan warga kampung tidak menolak pembangunan. Tetapi menolak direlokasi.
Warga mempersilakan pemerintah melakukan pembangunan di luar kampung-kampung warga. "Setidaknya terdapat 16 titik kampung warga di kawasan Pulau Rempang ini. Kami ingin kampung-kampung itu tidak direlokasi," katanya.
Ia mengklaim warga Rempang dan Galang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau setidaknya lebih dari satu abad lalu. "Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga," kata Gerisman.
Baca Juga: Kasus Rempang dalam Persfektif Keadilan
Sejak 1834 itu kata Gerisman, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat Tempatan di Rempang. Mereka tidak kunjung mendapatkan legalitas tanah meskipun sudah diajukan. "Tiba-tiba sekarang kampung kami mau dibangun saja," tandasnya.
Artikel Terkait
Fasha-Maulana Kembali Rombak Susunan Pejabat Pemkot Jambi, Ini Daftarnya!
Warga Danau Sipin Punya Camat Baru, Ini Sosoknya!
Nikmatnya Bebek Kremes Wengi: Surga Kuliner Bebek di Kota Jambi
Madura United Raih Kemenangan Telak 3-0 dalam Derby Suramadu dan Kuasai Puncak Klasemen BRI Liga 1
Pulau Berhala Jambi: Sejarah, Keindahan Alam, dan Warisan Budaya
Hari ke-5 Operasi, 204.000 Liter Bantuan Air Bersih Untuk Warga Kota Jambi
Warga Pulau Sangkar Buka Blokir Jalan Nasional Kerinci-Bangko setelah Mediasi
Roadshow Bus KPK Diharapkan Jadi Sarana Edukasi Bagi Publik
Jonatan Christie Raih Kemenangan Epik di Final Hong Kong Open 2023
Tips Mengatasi dan Mencegah Mata Kering saat Cuaca Panas dan Polusi Udara